Karena saking cinta di antara dua pasangan ketika tidak disetujui ortu, akhirnya kawin lari jadi pilihan. Ada orang yang asal copot diangkat sebagai wali, dan akhirnya mereka menikah. Padahal hakekatnya nikah seperti ini bermasalah. Inilah yang akan diterangkan dalam lanjutan bentuk nikah yang terlarang pada sebagian bahasan kali ini.
Kelima: Nikah dengan Mantan Isteri yang Sudah Ditalak Tiga
Nikah seperti ini terlarang. Mantan isteri yang telah ditalak tiga tidak bisa dinikahi lagi oleh suaminya yang dulu sampai ia menikah dengan pria yang lain dan bercerai dengan cara yang wajar (bukan akal-akalan). Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 230)
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dalil yang menunjukkan harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ لاَ حَتَّى تَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
“Apakah engkau ingin kembali pada Rifa’ah (suamimu yang pertama). Tidak boleh sampai engkau merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 1433)
Keenam: Kawin Lari
Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian. Bisa jadi, tanpa wali nikah, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan kumpul kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin hubungan RT secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si wanita, bukan laki-laki.
Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah membuat urutan:
- Ayah
- Kakek
- Saudara laki-laki
- Anak saudara laki-laki (keponakan)
- Paman
- Anak saudara paman (sepupu)
Dan pengertian wali wanita adalah kerabat laki-laki si wanita dari jalur ayahnya, bukan ibunya. Jika masih ada kerabat yang lebih dekat seperti ayahnya, maka tidak boleh kerabat yang jauh seperti paman menikahkan si wanita. Boleh saja jika si wali mewakilkan kepada orang lain (seperti si ayah kepada paman) sebagai wali si wanita. Dan ketika itu si wakil mendapat hak sebagaimana wali. Dan ingat, syarat wali adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh dan (5) merdeka (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 142-145).
Dalil-dalil yang mendukung mesti adanya wali wanita dalam nikah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)
Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (Syarh Sunnah, 9: 40-41).
Demikianlah keadaan sebagian pemuda, demi cinta sampai ingin mendapat murka Allah. Kawin lari sama saja dengan zina karena status nikahnya tidak sah.
Adapun bentuk pernikahan terlarang lainnya bisa dilihat pada pembahasan “Siapakah Mahrom Anda?” Keterangan dalam tulisan tersebut menunjukkan pula bentuk pernikahan yang terlarang. Begitu pula silakan merujuk pula pada tulisan “Nikah Beda Agama” dan “Menikahi Wanita Hamil Karena Zina”. Jadi pembahasan bentuk nikah yang terlarang kami anggap sudah selesai.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wallahu a’lam.
@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 13 Shafar 1433 H